Sabtu, 12 Januari 2019

Sentuhan Adzan Si Pria Tua

   Pertengahan 2017,ku langkahkan kaki menuju pijakan baru. Berbenah diri dari pengalaman,memikir ulang saran orang terdekat,tiba saatnya pilihan ditetapkan,kemudian di iringi dengan doa. Jalanan panjang menghantarkanku ke bumi siger,provinsi paling selatan dari pulau sumatera, lampung. Aku masih ingat,kejadian dua tahun lalu hingga menyadarkanku akan banyak hal yang telah dilupakan. Berbekal dari pengalaman itulah yang membuatku  sampai pada titik sekarang ini. Masa-masa cukup berat memang, mengalami kegagalan di SBMPTN 2016,merantau ke tanah jawa dan melakoni hidup untuk berdagang serta belajar kembali untuk persiapan tes tahun selanjutnya. Dari  peristiwa beruntun yang ku lalui, ada banyak hal-hal yang menggugah perasaan serta menyita fikiranku untuk memahaminya. Dan pada akhirnya kita akan mengerti ada hikmah yang di selipkan dari skenario hidup yang digariskan oleh-Nya.
    
  Setelah menempuh perjalanan selama 35 jam,akupun bisa bernapas lega setelah dua hari satu malam ‘terkungkung’ di dalam bis. Kunjungan pertamaku ke bandar lampung,aku terkesima dengan hiruk pikuk perkotaannya. Gapura bertuliskan ‘’selamat datang di kota bandar lampung’’ serta kalimat tauhid dengan tulisan arab gundul, pertanda mau memasuki kota tapis berseri tersebut. Masuk gapura,terlihat di sisi jalan berdiri bandar lampung city sign,yang ketika malam menghampiri kelihatan begitu mewah dengan paduan lampu berwarna merah. Bis terus berjalan dan pandanganku semakin tertantang untuk melihat hal-hal apalagi yang bisa di saksikkan. di sepanjang jalan beberapa kali ku temui baliho calon kepala daerah,wajah-wajah baru bagiku karena sebelumnya tak pernah melihatnya. kebetulan tidak beberapa lama lagi ajang pilkada,jadi pemandangan di sisi jalan sebagian besar di dominasi oleh baliho-baliho tersebut. Semakin mendekati tujuan, juga ku lihat pengerjaan proyek jembatan layang di depan Mall Boemi Kedaton (MBK) serta  pusat perbelanjaan transmart yang juga sedang pengerjaan dengan berbagai pekerja dan alat proyek yang menopangnya. Namun,dari sederetan pemandangan yang ku temui di perjalanan ada yang lebih menarik perhatian serta ‘memincut’ keingintahuanku. Yaitu keseharian seorang pria tua yang menghidupkan rumah Allah.
  
   Masa perkuliahan masih lama,sekitar satu bulan lagi. Selama masa penantian itu,aku menginap di kosan salah seorang alumni SMA-ku yang menjadi dosen di ITERA. Lokasinya berada di way halim,kecamatan yang kebetulan perbatasan antara kota bandar lampung dengan kabupaten lampung selatan. Way halim adalah daerah keramaian yang menggambarkan denyut nadi kota bandar lampung itu tersendiri. perkotaan dengan sebaran pemukiman cukup padat,dimana bertebaran toko-toko,warung,pusat perbelanjaan,gedung pemerintahan dan lainnya. Begitupun untuk mencari mesjid tidaklah terlalu sulit,jika waktu sholat telah masuk. Setiap hari adzan bersahut-sahutan dari satu mesjid ke mesjid lainnya,dan jaraknya juga tak terlalu jauh. Aku biasanya menunaikan shalat di mesjid dekat dengan tempat tinggalku. Berjalan sekitar 100 meter atau tak cukup 5 menit maka aku sudah sampai di pelataran mesjid. Saat kuperhatikan ternyata masjidnya masih baru dan dalam tahap masa pengerjaan,hal itu terlihat dari bagian basement belum bisa di fungsikan,sehingga ruangan untuk sholat dialihkan ke lantai satu dengan melalui anak tangga yang telah disediakan. Begitupun di depan masjid,terpampang baliho ‘’mohon doa restu dan bantuan’’ agar renovasi selesai sesuai dengan apa yang di rencanakan,terlihat gambar rancangan bentuk mesjid jika pembangunan berjalan sebegaimana mestinya. beberapa hari permulaan aku merutinkan sholat di mesjid dekat kosan,sama seperti biasanya dan tak ada yang berbeda. Namun,seiring berjalannya waktu aku merasa terenyuh ketika adzan sedang di kumandangkan,aku mendengar lantunan suara yang tak biasa,dan mencoba menyimak baik-baik siapakah gerangan yang melantunkan suara tersebut. Biasanya aku mendengar tarikan nafas yang panjang,energik dan mengalun dengan iramanya yang khas. Namun kali ini berbeda, nada adzan yang tidak terlalu lantang,dan akhirnya sentuhan adzan itu menyadarkanku bahwa muadzinnya bukan orang yang muda lagi,tapi sudah berlanjut usia.
   
  Berpakaian biasa,mengenakan kopiah longgar yang menjadi ciri khasnya dan dengan langkah sedikit gontai, pria tua itu bergegas ke mesjid beberapa menit sebelum masuk waktu shalat. Adzan di kumandangkan dengan sisa-sisa suara yang dimilikinya,sentuhan nada itu mengalun ditengah keramaian kota dan berduyun-duyun orang memenuhi panggilan tersebut. Selesai adzan, ia duduk di shaf bagian depan,mengerjakan sholat sunnah dan sesekali mengarahkan pandangan ke layar penghitung mundur waktu untuk iqamah. Dan ketika penunjuk waktu berbunyi, ia segera berdiri untuk melakukan iqamah dan sholatpun didirikan. Begitulah keseharian pria tua itu,di sisa umur yang ia miliki digunakan untuk menyeru orang-orang  agar mendatangi rumah Allah. Ia memang sudah tua renta karena termakan usia,dan tubuhnya pun juga tak sekuat dulu lagi. Tapi keinginannnya untuk menghidupkan rumah Allah mengalahkan itu semua.

  Masa tua itu memang fase-fase akhir dalam kehidupan,sehingga orang pernah bilang ‘’biarkan ia menikmati masa-masa tuanya’’. Kenapa menikmati masa tua,bukankah masa muda itu puncaknya masa dalam kehidupan serta  disebut masa-masa yang paling indah dan menyenangkan. Karena masa tua itu sudah batas akhir dari fase kehidupan di dunia ini,dan akhirnya adalah kematian. Sementara kematian juga tidak hanya menghampiri orang tua saja. Siapapun itu baik sudah tua,muda ataupun masih kecil jika ajalnya telah datang ia akan mengalami kematian juga. Seperti pepatah mengatakan ‘’mumbang jatuh,kelapapun jatuh’’.




   Namanya   Pak Husen dan berumur 38 tahun. Dulunya ia menetap di perantauan kota Jakarta dan bekerja di bagian konveksi pakaian. Saat itu,...