Setelah menempuh perjalanan selama 35 jam,akupun
bisa bernapas lega setelah dua hari satu malam ‘terkungkung’ di dalam bis. Kunjungan
pertamaku ke bandar lampung,aku terkesima dengan hiruk pikuk perkotaannya.
Gapura bertuliskan ‘’selamat datang di kota bandar lampung’’ serta kalimat
tauhid dengan tulisan arab gundul, pertanda mau memasuki kota tapis berseri
tersebut. Masuk gapura,terlihat di sisi jalan berdiri bandar lampung city sign,yang
ketika malam menghampiri kelihatan begitu mewah dengan paduan lampu berwarna
merah. Bis terus berjalan dan pandanganku semakin tertantang untuk melihat hal-hal
apalagi yang bisa di saksikkan. di sepanjang jalan beberapa kali ku temui
baliho calon kepala daerah,wajah-wajah baru bagiku karena sebelumnya tak pernah
melihatnya. kebetulan tidak beberapa lama lagi ajang pilkada,jadi pemandangan di sisi jalan sebagian besar di dominasi oleh baliho-baliho tersebut. Semakin
mendekati tujuan, juga ku lihat pengerjaan proyek jembatan layang di depan Mall
Boemi Kedaton (MBK) serta pusat
perbelanjaan transmart yang juga sedang pengerjaan dengan berbagai pekerja dan alat
proyek yang menopangnya. Namun,dari sederetan pemandangan yang ku temui di perjalanan
ada yang lebih menarik perhatian serta ‘memincut’ keingintahuanku. Yaitu keseharian
seorang pria tua yang menghidupkan rumah Allah.
Masa perkuliahan
masih lama,sekitar satu bulan lagi. Selama masa penantian itu,aku menginap di
kosan salah seorang alumni SMA-ku yang menjadi dosen di ITERA. Lokasinya
berada di way halim,kecamatan yang kebetulan perbatasan antara kota bandar
lampung dengan kabupaten lampung selatan. Way halim adalah daerah keramaian
yang menggambarkan denyut nadi kota bandar lampung itu tersendiri. perkotaan
dengan sebaran pemukiman cukup padat,dimana bertebaran toko-toko,warung,pusat
perbelanjaan,gedung pemerintahan dan lainnya. Begitupun untuk mencari mesjid
tidaklah terlalu sulit,jika waktu sholat telah masuk. Setiap hari adzan
bersahut-sahutan dari satu mesjid ke mesjid lainnya,dan jaraknya juga tak
terlalu jauh. Aku biasanya menunaikan shalat di mesjid dekat dengan tempat
tinggalku. Berjalan sekitar 100 meter atau tak cukup 5 menit maka aku sudah sampai
di pelataran mesjid. Saat kuperhatikan ternyata masjidnya masih baru dan dalam
tahap masa pengerjaan,hal itu terlihat dari
bagian basement belum bisa di fungsikan,sehingga ruangan untuk sholat dialihkan
ke lantai satu dengan melalui anak tangga yang telah disediakan. Begitupun di
depan masjid,terpampang baliho ‘’mohon doa restu dan bantuan’’ agar renovasi
selesai sesuai dengan apa yang di rencanakan,terlihat gambar rancangan bentuk
mesjid jika pembangunan berjalan sebegaimana mestinya. beberapa hari permulaan aku merutinkan sholat
di mesjid dekat kosan,sama seperti biasanya dan tak ada yang berbeda. Namun,seiring
berjalannya waktu aku merasa terenyuh ketika adzan sedang di kumandangkan,aku mendengar
lantunan suara yang tak biasa,dan mencoba menyimak baik-baik siapakah gerangan
yang melantunkan suara tersebut. Biasanya aku mendengar tarikan nafas yang
panjang,energik dan mengalun dengan iramanya yang khas. Namun kali ini berbeda,
nada adzan yang tidak terlalu lantang,dan akhirnya sentuhan adzan itu menyadarkanku
bahwa muadzinnya bukan orang yang muda lagi,tapi sudah berlanjut usia.
Berpakaian
biasa,mengenakan kopiah longgar yang menjadi ciri khasnya dan dengan langkah
sedikit gontai, pria tua itu bergegas ke mesjid beberapa menit sebelum masuk
waktu shalat. Adzan di kumandangkan dengan sisa-sisa suara yang
dimilikinya,sentuhan nada itu mengalun ditengah keramaian kota dan
berduyun-duyun orang memenuhi panggilan tersebut. Selesai adzan, ia duduk di
shaf bagian depan,mengerjakan sholat sunnah dan sesekali mengarahkan
pandangan ke layar penghitung mundur waktu untuk iqamah. Dan ketika penunjuk
waktu berbunyi, ia segera berdiri untuk melakukan iqamah dan sholatpun didirikan.
Begitulah keseharian pria tua itu,di sisa umur yang ia miliki digunakan untuk
menyeru orang-orang agar mendatangi rumah
Allah. Ia memang sudah tua renta karena termakan usia,dan tubuhnya pun juga tak
sekuat dulu lagi. Tapi keinginannnya untuk menghidupkan rumah Allah mengalahkan
itu semua.
Masa tua itu memang
fase-fase akhir dalam kehidupan,sehingga orang pernah bilang ‘’biarkan ia
menikmati masa-masa tuanya’’. Kenapa menikmati masa tua,bukankah masa muda itu
puncaknya masa dalam kehidupan serta disebut masa-masa yang paling indah dan
menyenangkan. Karena masa tua itu sudah batas akhir dari fase kehidupan di
dunia ini,dan akhirnya adalah kematian. Sementara kematian juga tidak
hanya menghampiri orang tua saja. Siapapun itu baik sudah tua,muda ataupun masih
kecil jika ajalnya telah datang ia akan mengalami kematian juga. Seperti
pepatah mengatakan ‘’mumbang jatuh,kelapapun jatuh’’.