Kamis, 16 Mei 2019

Menghidupkan Rumah Allah

   Namanya  Pak Husen dan berumur 38 tahun. Dulunya ia menetap di perantauan kota Jakarta dan bekerja di bagian konveksi pakaian. Saat itu,aku masih sepantaran anak SD yang lainnya dan masa diasyikkan dengan dunia bermain. Tinggal di pesisir pantai dengan segala hiruk pikuk masyarakatnya. Alhamdulillah berdiri sebuah masjid yang cukup besar dan namanya Masjid Raya Nagari Kataping. Sebelumnya,Masjid pernah dihidupkan dengan kegiatan TPA dan diikuti banyak anak-anak yang di inisiasi oleh kalangan muda saat itu. Bahkan saking tingginya ghirah untuk menghidupkan masjid,sampai-sampai juga menyediakan perpustakaan ilmu di ruang dalam masjid. Mulai dari buku agama sampai buku pelajaran sekolahpun dihadirkan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak akan referensi ilmu. Namun, seiring berjalannya waktu barulah terasa medan dakwah itu penuh tanjakan. Apalagi anak muda yang dalam masanya ditempa berbagai rintangan dalam pencaharian jati diri. Perlahan-lahan semangat mulai luntur ditandai oleh berkurangnya tenaga pengajar sampai kegiatanpun berhenti ditengah jalan. Dengan berbagai alasan mulai kesibukan kuliah,bekerja dan ada juga yang menikah.
  
  Masjid sepi karena tak ada lagi kegiatan seperti biasanya. Pelaksanaan shalat memang berjalan tapi tidak rutin lima waktu dan di hari-hari biasa tidak sampai satu shaf sholat. Di tengah keprihatinan itu semua Pak Husen hadir dikampung. Ia mengabdikan hidupnya di mesjid mulai dari mengajari al-qur’an dan bahasa arab,mengisi tausyiah ramadhan sampai menjadi khatib jum’at. Pak Husen hanya mengenyam pendidikan di SD dan tidak melanjutkan ke jenjang lebih tinggi dari sebelumnya. Penguasaan ilmu bahasa arab didapati dari guru-guru yang dijumpai di perantauan. Melalui itu digunakan untuk mendalami makna ayat al-qur’an dan hadis.

  Dalam menyampaikan ceramah misalnya Pak Husen  memulainya dengan membaca ayat yang akan dibahas. kemudian dengan bahasa yang lugas dijabarkan maksud ayat al-quran atau hadis sampai penerapannya. Terkadang ia selipkan pepatah-petitih minang yang berhubungan dengan topik agar lebih terkoneksi ke jemaah. Pembawaan khutbah jum’at kadang berapi-api ketika tema yang diangkat sangat krusial. Perjuangannya untuk lebih mentautkan hati orang-orang ke mesjid mendatangkan perubahan. Perlahan-lahan mulai ramai dan diikuti dengan peningkatan pembangunan masjid. Lantunan adzan yang dulunya jarang terngiang kini  terdengar ke setiap penjuru di kampung. dilantangkan oleh anak muda maupun tua yang mengharapkan ampunan dari-Nya. Pemilik seruan adzan.

#Day 11
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
 


Minggu, 21 April 2019

Allah Tak Pernah Meninggalkanmu



  Suatu ketika nabi saw merasa gelisah. Pasalnya sudah 15 hari wahyu juga tak kunjung turun. Saking rindunya menantikan kehadiran wahyu nan baru,Ia terus bolak-balik ke gua tsur menunggu kedatangan jibril membawa wahyu. Melihat keadaan nabi yang sedang dirundung rasa gundah,membuat orang kafir quraisy bersemangat untuk mencibirnya. Ia mengatakan bahwa tuhan muhammad telah meninggalkannya. Muhammad tidak lagi diberi wahyu dan berbagai ejekan yang dilontarkan untuk melemahkan semangat nabi.  Semakin lamanya penantian,berbagai prasangkapun mulai bermunculan. Kenapa wahyu juga belum turun? Apakah Allah telah melupakannya sehingga tak menghiraukannya lagi? Atau apakah Allah telah meninggalkannya dan berbagai prasangka lainnya

Ditengah perasaan gelisah yang dialami nabi, muncullah jibril membawa surat Ad -dhuha sekaligus menenangkan hati nabi karena sudah sekian lama menantikan kehadiran wahyu nan baru
1. Demi waktu dhuha
2. Dan demi malam apabila telah sunyi
3. Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak (pula) membencimu
4. Dan sungguh,yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan
5. Dan sungguh,kelak tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas

Begitupun adanya dalam kehidupan ini....
Ada masa-masa ketika masalah rasanya begitu berat. Seolah datangnya secara bertubi-tubi dan jalan yang ditempuh terasa buntu untuk dilalui. Namun,ketika lebih jernih memikirkannya ternyata tidak seperti anggapan kita sebelumnya. Jika mengedepankan keterburu-buruan, yang ada hanyalah pikiran sempit yang tak tahu arah penyelesaian masalahnya

Ketika mengharapkan sesuatu tapi hasilnya tak sesuai dengan keinginan. Maka periksa kembali niat dan cara yang ditempuh untuk mendapatkannya.  Kadang sesuatu yang diharapkan benar menurut kita tetapi belum tentu benar dalam pandangan Allah swt. Ketika keinginan tanpa diiringi ridho-Nya maka ia akan tercecer di tengah jalan. Kalaupun tercapai belum tentu itu baik bagi kita, jika tak ada berkah didalamnya.

Atau hidup terus merasa kurang dari yang lainnya. Ketika apa yang kita miliki selalu membandingkannya dengan orang lain maka hidup ini takkan ada habis-habisnya. Hati akan terus merasa kurang karena juga kurangnya rasa syukur yang dimiliki. Karena syukur itu tempatnya dihati.

Jika hidup merasa banyak dosa,maka mohonlah ampunan dengan bertaubat
Jika hidup terasa sempit,maka luaskanlah dengan sabar
Jika hidup merasa kurang,maka cukupkanlah dengan bersyukur

Sabtu, 12 Januari 2019

Sentuhan Adzan Si Pria Tua

   Pertengahan 2017,ku langkahkan kaki menuju pijakan baru. Berbenah diri dari pengalaman,memikir ulang saran orang terdekat,tiba saatnya pilihan ditetapkan,kemudian di iringi dengan doa. Jalanan panjang menghantarkanku ke bumi siger,provinsi paling selatan dari pulau sumatera, lampung. Aku masih ingat,kejadian dua tahun lalu hingga menyadarkanku akan banyak hal yang telah dilupakan. Berbekal dari pengalaman itulah yang membuatku  sampai pada titik sekarang ini. Masa-masa cukup berat memang, mengalami kegagalan di SBMPTN 2016,merantau ke tanah jawa dan melakoni hidup untuk berdagang serta belajar kembali untuk persiapan tes tahun selanjutnya. Dari  peristiwa beruntun yang ku lalui, ada banyak hal-hal yang menggugah perasaan serta menyita fikiranku untuk memahaminya. Dan pada akhirnya kita akan mengerti ada hikmah yang di selipkan dari skenario hidup yang digariskan oleh-Nya.
    
  Setelah menempuh perjalanan selama 35 jam,akupun bisa bernapas lega setelah dua hari satu malam ‘terkungkung’ di dalam bis. Kunjungan pertamaku ke bandar lampung,aku terkesima dengan hiruk pikuk perkotaannya. Gapura bertuliskan ‘’selamat datang di kota bandar lampung’’ serta kalimat tauhid dengan tulisan arab gundul, pertanda mau memasuki kota tapis berseri tersebut. Masuk gapura,terlihat di sisi jalan berdiri bandar lampung city sign,yang ketika malam menghampiri kelihatan begitu mewah dengan paduan lampu berwarna merah. Bis terus berjalan dan pandanganku semakin tertantang untuk melihat hal-hal apalagi yang bisa di saksikkan. di sepanjang jalan beberapa kali ku temui baliho calon kepala daerah,wajah-wajah baru bagiku karena sebelumnya tak pernah melihatnya. kebetulan tidak beberapa lama lagi ajang pilkada,jadi pemandangan di sisi jalan sebagian besar di dominasi oleh baliho-baliho tersebut. Semakin mendekati tujuan, juga ku lihat pengerjaan proyek jembatan layang di depan Mall Boemi Kedaton (MBK) serta  pusat perbelanjaan transmart yang juga sedang pengerjaan dengan berbagai pekerja dan alat proyek yang menopangnya. Namun,dari sederetan pemandangan yang ku temui di perjalanan ada yang lebih menarik perhatian serta ‘memincut’ keingintahuanku. Yaitu keseharian seorang pria tua yang menghidupkan rumah Allah.
  
   Masa perkuliahan masih lama,sekitar satu bulan lagi. Selama masa penantian itu,aku menginap di kosan salah seorang alumni SMA-ku yang menjadi dosen di ITERA. Lokasinya berada di way halim,kecamatan yang kebetulan perbatasan antara kota bandar lampung dengan kabupaten lampung selatan. Way halim adalah daerah keramaian yang menggambarkan denyut nadi kota bandar lampung itu tersendiri. perkotaan dengan sebaran pemukiman cukup padat,dimana bertebaran toko-toko,warung,pusat perbelanjaan,gedung pemerintahan dan lainnya. Begitupun untuk mencari mesjid tidaklah terlalu sulit,jika waktu sholat telah masuk. Setiap hari adzan bersahut-sahutan dari satu mesjid ke mesjid lainnya,dan jaraknya juga tak terlalu jauh. Aku biasanya menunaikan shalat di mesjid dekat dengan tempat tinggalku. Berjalan sekitar 100 meter atau tak cukup 5 menit maka aku sudah sampai di pelataran mesjid. Saat kuperhatikan ternyata masjidnya masih baru dan dalam tahap masa pengerjaan,hal itu terlihat dari bagian basement belum bisa di fungsikan,sehingga ruangan untuk sholat dialihkan ke lantai satu dengan melalui anak tangga yang telah disediakan. Begitupun di depan masjid,terpampang baliho ‘’mohon doa restu dan bantuan’’ agar renovasi selesai sesuai dengan apa yang di rencanakan,terlihat gambar rancangan bentuk mesjid jika pembangunan berjalan sebegaimana mestinya. beberapa hari permulaan aku merutinkan sholat di mesjid dekat kosan,sama seperti biasanya dan tak ada yang berbeda. Namun,seiring berjalannya waktu aku merasa terenyuh ketika adzan sedang di kumandangkan,aku mendengar lantunan suara yang tak biasa,dan mencoba menyimak baik-baik siapakah gerangan yang melantunkan suara tersebut. Biasanya aku mendengar tarikan nafas yang panjang,energik dan mengalun dengan iramanya yang khas. Namun kali ini berbeda, nada adzan yang tidak terlalu lantang,dan akhirnya sentuhan adzan itu menyadarkanku bahwa muadzinnya bukan orang yang muda lagi,tapi sudah berlanjut usia.
   
  Berpakaian biasa,mengenakan kopiah longgar yang menjadi ciri khasnya dan dengan langkah sedikit gontai, pria tua itu bergegas ke mesjid beberapa menit sebelum masuk waktu shalat. Adzan di kumandangkan dengan sisa-sisa suara yang dimilikinya,sentuhan nada itu mengalun ditengah keramaian kota dan berduyun-duyun orang memenuhi panggilan tersebut. Selesai adzan, ia duduk di shaf bagian depan,mengerjakan sholat sunnah dan sesekali mengarahkan pandangan ke layar penghitung mundur waktu untuk iqamah. Dan ketika penunjuk waktu berbunyi, ia segera berdiri untuk melakukan iqamah dan sholatpun didirikan. Begitulah keseharian pria tua itu,di sisa umur yang ia miliki digunakan untuk menyeru orang-orang  agar mendatangi rumah Allah. Ia memang sudah tua renta karena termakan usia,dan tubuhnya pun juga tak sekuat dulu lagi. Tapi keinginannnya untuk menghidupkan rumah Allah mengalahkan itu semua.

  Masa tua itu memang fase-fase akhir dalam kehidupan,sehingga orang pernah bilang ‘’biarkan ia menikmati masa-masa tuanya’’. Kenapa menikmati masa tua,bukankah masa muda itu puncaknya masa dalam kehidupan serta  disebut masa-masa yang paling indah dan menyenangkan. Karena masa tua itu sudah batas akhir dari fase kehidupan di dunia ini,dan akhirnya adalah kematian. Sementara kematian juga tidak hanya menghampiri orang tua saja. Siapapun itu baik sudah tua,muda ataupun masih kecil jika ajalnya telah datang ia akan mengalami kematian juga. Seperti pepatah mengatakan ‘’mumbang jatuh,kelapapun jatuh’’.




Minggu, 21 Oktober 2018

Refleksi Satu Tahun

  Aku akan meninggalkan kampung,menuju tempat baru yang sebelumnya tak pernah terbayangkan olehku. Menapaki langkah ke lampung untuk menimba ilmu yang satu tahun sempat terhenti dan menunggu di putaran tes selanjutnya. Berbagai cerita mewarnai sepanjang perjalanan menuju bangku perkuliahan dan final di Itera Lampung melalui jalur SBMPTN 2017. Aku akan kehilangan beberapa suasana khas di kampung dan itu mungkin yang tergambar ketika aku mengingat memori tentang kampung tatkala di perantauan. Ketika pagi menyapa, aku tak bisa lagi menyaksikkan secara langsung lamat-lamat matahari muncul di ufuk timur dari teras rumah. Di posisi mulai merangkak naik, terlihat pancaran sinarnya merambat di celah-celah pohon siapi-api yang kebetulan searah dengan pandanganku. Kemudian sinar itu membias sehingga  terbentuk cahaya yang tak koheren karena terhalangi oleh dedaunan dan ranting pohon,menyebar dan membentuk suatu pemandangan yang seolah-olah memberikan semangat baru di pagi hari . Aku tak bisa lagi menikmati sensasi bersantai di pantai,yang memiliki rasa yang berbeda dari tempat lain. Merehatkan diri di pondok kecil yang menghadap ke pantai sembari merasakan desiran angin menyentuh kulit serta ditemani riak gelombang dan memandangi pulau-pulau yang jauh terpencil. Begitupun di sore hari mengunjungi  tempat-tempat yang ramai ketika weekend atau musim libur panjang. Hal itu memberikan hiburan tersendiri di kala menikmati waktu-waktu senggang di kampung .


( Penampakan Sebatang Pohon Aru  di Pesisir Pantai Ketaping )

 Akupun pamit kepada orangtua,nenek,dan saudara-saudaraku. Banyak nasehat  yang di sampaikan dan di pesankan. Aku mencoba memahami maksudnya dan mungkin menjadi pengingat bagiku di suatu hari nanti. Aku menuju lampung bersama adik kelasku yang juga diterima di kampus yang sama. Perjalanan satu hari satu malam ku lalui di dalam bis,saat pemberhentian ketika telah sampai di rumah makan atau kondisi bis yang tak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan alias rusak. Semakin jauh rute perjalanan yang ku tempuh, semakin jelas keindahan ranah minang terpampang di depan mata yang sebelumnya tak pernah terjarah oleh perjalananku. Begitupun,ketika memasuki provinsi lain seperti Jambi dan Sumatera Selatan, juga tak terlepas dari perhatianku sebelum sampai di Lampung.

  Rute perjalananku finish di dekat fly over Way Halim. Untuk satu bulan ke depan aku menginap di kosan salah seorang alumni SMA ku yang menjadi dosen di ITERA Lampung.  Way halim adalah daerah pemukiman padat penduduk layaknya seperti di kota-kota pada umumnya. Aku merasakan hiruk pikuk perkotaan pertamakali saat gedung-gedung menjulang tinggi dan pusat-pusat perbelanjaan mulai menyapa sesaat sampai di Bandar lampung. Begitupun menjamurnya toko-toko di pinggir jalan yang menyediakan berbagai kebutuhan. Ada hal yang cukup menarik perhatianku di suatu sudut kota,ada beberapa toko kecil yang menyediakan buah durian tiap harinya. Dan durian-durian itu ada yang di kemas di dalam plastik,kotak dan tentunya juga bentuk aslinya. Yang membuat aku heran karena di kampung hanya bisa melihat orang menjajakan durian atau mencicipinya saat musim buah durian telah tiba. Mungkin karena lampung tempat persinggahan banyak orang sehingga kebutuhan akan buah-buahan mudah untuk di penuhi.

  Tanpa terasa masa perkuliahan hampir tiba,aku pindah ke Asrama TPB ITERA yang merintis di tahun 2017. Memiliki 2 gedung asrama yaitu untuk putra dan putri,terdiri dari 5 lantai dengan masing-masing 8 lorong di tiap asramanya. Di dekat asrama berdiri Masjid Raya At-Tanwir ITERA,yang merupakan masjid Kedua di dirikan setelah Masjid Baitul Ilmi. Masjid ini menjadi pusat pembinaan mahasiswa dengan berbagai kegiatan di antaranya ada kajian rutin,tahsin dan mabit. Karena dalam tahap pembangunan,masjid ini belum terlihat seperti masjid umumnya. Bahkan dari jauh tidak menyerupai bentuk masjid,karena belum di kasih kubah. Namun suara adzan yang bersahut-sahutan dari sinilah yang membuat beberapa pengendara untuk tak melewatkan shalat di Masjid At-Tanwir ITERA. Masjid ini memiliki desain interior yang tak biasa dan terkesan alamiah,ketika mendekati dan masuk ke dalam masjid maka akan terlihat ornamen dinding bebatuan. dengan ukuran yang berbeda,bebatuan itu tersusun di dalam besi yang di pancangkan, ketika cahaya merambat ia akan melewati celah-celah dari bebatuan sehingga terbentuk cahaya yang tidak koheren. Walaupun memiliki celah-celah di dindingnya,di saat kondisi hujan masjid tidak di masuki tempias air hujan. Masjid at-tanwir ITERA menjadi masjid yang paling ramai di kunjungi walaupun masih dalam tahap pembangunan. Beberapa kegiatan yang sebelumnya di langsungkan di masjid baitul ilmi mulai di pusatkan ke masjid yang baru ini. 

( Masjid At-Tanwir ITERA memiliki ormanen dinding dari batu kali,di susun dengan teknik bronjong dan kawat anyam sebagai penyangganya )

  ITERA berdiri di atas lahan seluas 285 hektar,sebelumnya di tempati oleh berbagai komoditi tanaman perkebunan. sehingga wajar di temukan hamparan pohon karet yang belum di babat,begitupun tanaman lainnya karena masih banyak lahan yang belum di realisasikan dalam pembangunan. Asrama ITERA berada di lingkungan kampus, dan jarak ke gedung perkuliahan sedikit jauh sehingga butuh beberapa menit untuk sampai . Di siang hari, terik matahari terasa begitu menyengat tatkala berjalan ke kampus mengingat sedikitnya pohon-pohon di ITERA. ketika di asrama,Dari ujung ke ujung lorong dapat memandangi gedung-gedung ITERA, di malam hari terlihat kerlap-kerlip lampunya memberikan keseruan tersendiri untuk melihat potret langsung yang ditampilkan. Dan ketika mengarahkan mata di sisi lorong lain terhampar pepohonan  karet  yang bisa menjadi alternatif hiburan di saat diri butuh pelarian dari kejenuhan. Keteraturan susunan serta dedaunnya yang hijau bergerak mengikuti arah terpaan angin,menjadi daya tarik tersendiri untuk memperhatikannya. Ketika waktu-waktu senggang,aku terkadang jalan-jalan ke Bandar Lampung dan menemukan nuansa yang berbeda tentunya dari yang ku temui di asrama ITERA. aku ingin mengenali Bandar Lampung lebih jauh,mengamati berbagai sisi kehidupan yang di tampilkan sehingga akan banyak hal-hal yang bisa ku ingat dan ceritakan tentang lampung kepada orang lain. Biasanya aku berkunjung ke pasar untuk mencari barang murah,karena kebetulan jarak yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal. Sesekali ke gramedia untuk mencari buku-buku bacaan dan mengikuti kegiatan kajian di masjid . Salah satu pasar terbesar yang ku kunjungi di Bandar lampung adalah Pasar Bambu Kuning. Pasarnya terbentang luas,transaksi jual beli bertebaran di setiap jalan yang ku lewati.Tidak terbatas di ruangan terbuka,ada juga beberapa gedung pasar yang di dalamnya berjejer toko-toko yang menjajakan dagangannya. Berbagai kebutuhan yang tidak ku temukan di pasar-pasar sebelumnya ternyata di temukan disini.

( Suasana siang hari di Pasar Bambu Kuning dari Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) )


 Di kampus,aku masih berkutat dengan kegiatan perkuliahan dan belum berkecimpung di UKM karena masih masa TPB. Aku mulai menyatu dengan kehidupan di sini. Ada beberapa hal yang mendeskripsikan kehidupan satu tahun di asrama ITERA ; Menyaksikkan sunset dari Asrama,Lantunan suara adzan dengan ciri khasnya ketika waktu shalat telah tiba ,dan jalan berdebu di awal-awal perkuliahan serta hal-hal baru lainnya yang menambah pengalaman dan pemahaman hidupku selama di Lampung.

  Satu tahun di ITERA terasa begitu cepat berlalu. libur panjang telah tiba, setengah bulan Ramadhan telah ku habiskan di sini dan selebihnya ingin momen spesial ini ku lalui di kampung bersama keluarga. melihat secara langsung perkembangan di kampung yang sebelumnya hanya ku saksikkan lewat media sosial. Ada kesempatan untuk pulang kampung,aku akan menghabiskan sisa-sisa bulan Ramadhan serta merayakan Lebaran Idul Fitri disana. Ada banyak yang akan kuceritakan kepada mereka di rumah tentang kehidupan satu tahun disini, Di sai bumi rang ruwa jurai, Lampung.





   Namanya   Pak Husen dan berumur 38 tahun. Dulunya ia menetap di perantauan kota Jakarta dan bekerja di bagian konveksi pakaian. Saat itu,...